Menyikapi Hukum Riba dalam Mu’amalah secara Kelembagaan
ألسـلام عليكم ورحمة الله وبركاته
ســمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيـم
Yang menjadi pokok atau kunci utama suatu hubungan mu’amalah termasuk riba atau tidak adalah : Syariah Islam tidak membolehkan pihak pemberi pinjaman mensyaratkan lebih ( kelebihan ) pengembalian oleh si peminjam nantinya, walau sepeser pun yang menurut standar mata uang yang berlaku dalam wilayah tersebut adalah nominal terkecil. Akan tetapi Syariah Islam memperbolehkan apabila si Peminjam dengan sukarela memberikan kelebihan atas pokok pinjamannya, baik itu dengan adanya janji atau pun tidak sebelumnya. Terlebih lagi apabila hubungan di dalam mu’amalah hutang piutang tersebut adalah Pribadi antara keduanya ( terutama sisi si Pemberi Pinjaman)
Lalu bagaimanakah apabila si Pemberi Pinjaman tersebut adalah sebuah Lembaga ? Ada beberapa pendapat tentang penerapan Syariah Islam dalam hal ini :
- Pendapat yang pertama berpendapat : tetap menganggap Riba apabila menetapkan kelebihan atas pokok pinjaman.
- Golongan kedua berpendapat : Lembaga tersebut boleh menetapkan kelebihan pengembalian atas pokok pinjaman, karena Lembaga tersebut adalah sebuah bentuk dari suatu 'syirkah' (kerjasama) atas kumpulan modal, dan pemodal-pemodal tersebut menunjuk Pengelola, misalnya : Koperasi
- Golongan ketiga berpendapat : Lembaga tersebut tidak perlu menetapkan, dan membebaskan kepada si peminjam untuk mengembalikan pokoknya, dan kelebihan atas pokok pinjaman yang diberikan adalah atas dasar keikhlasan pihak si Peminjam.
Beberapa hal yang biasanya dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama adalah : Lembaga tersebut membutuhkan biaya operasional, kebutuhan mengembangkan modal, bagi hasil untuk tabungan (Simpanan), dan pengembangan aset Lembaga.
Yang perlu ditekankan disini adalah : Pihak Lembaga Keuangan Syariah, sebagai pihak Pemberi Pinjaman tidak menetapkan terlebih dahulu kelebihan atas pokok pinjaman yang akan dikucurkannya kepada si Peminjam, di sisi yang lain Lembaga Keuangan berhak menolak sebuah pengajuan kredit/pembiayaan, jika menurut perhitungan yang dimilikinya tidak menguntungkan secara financial. Disinilah letak keadilan dan berlakunya hukum pasar atau perdagangan, yaitu : tawar menawar antara Peminjam dan si Pemberi Pinjaman ( yang berbentuk sebuah lembaga keuangan ).
Jadi dengan lebih ditekankan terjadinya tawar menawar sebelum terjadinya kesepakatan, diharapkan kesepakatan yang nantinya terjadi adalah hasil dari keikhlasan antara kedua belah pihak, atau kalau dalam bahasa Al Qur’anul Karim adanya 'ridho' dari kedua belah pihak, bukan hanya kesepakatan formil yang pada kejadian sebenarnya adalah kesepakatan yang cenderung dibuat secara sepihak oleh pihak Pemberi Pinjaman sebagaimana yang terjadi pada Lembaga Keuangan Konvensional.
Dalam Syariah Islam yang ditekankan adalah Keadilan dan Kepedulian. Apabila prinsip itu dilaksanakan, Pinjaman di Lembaga Keuangan Syariah biasanya lebih mahal dari pada Konvensional, akan tetapi disisi yang lain Pinjaman di Lembaga Keuangan Syariah jauh lebih murah dan lebih lunak daripada di perbankan konvensional. ( Silahkan Baca Artikel kami yang membahas lebih jauh tentang hal ini, dengan klik disini )
Menjadi tantangan para Ilmuwan Ekonomi Muslim untuk dapat menjawab dan menerapkan hukum-hukum Allah سبحانه وتعلى dalam kondisi yang sesuai dengan jaman pada saat dia hidup. Islam adalah ajaran yang LOGIS, dan salah satu kebenaran ajaran-ajaran Agama Islam akan diungkapkan oleh kemajuan peradaban manusia melalui kemajuan tehnologi itu sendiri.
Semoga bermanfaat
وألسـلام عليكم ورحمة الله وبركات
R&D
Div. Tamwil
LKMS BMT SAKAMADANI
email : bmt_sakamadani@yahoo.com / bmt.sakamadani@gmail.com
No comments:
Post a Comment